“Cinta adalah mengalami. Ingin mengalami adalah hasrat paling mendasar.” (Keping Supernova)
Coba jawab satu pertanyaan: Apa yang membuatmu bertahan?
Banyak di antara kita semua yang mungkin sedang bertempur dengan perasaan dan pikiran kita sendiri. Di saat pilihan pergi itu selalu ada, entah kenapa kita seolah hanya bisa berakhir dengan keputusan bertahan. Meski kita tahu kita sedang ada di ambang ketidakjelasan, entah kenapa kita selalu berakhir menyamankan diri di antara keburaman. Dan di saat kita tahu bahwa bertahan tak akan mengubah keadaan, entah kenapa kita selalu berakhir dengan memupuk harapan, lagi.
Apa karena genggaman tangan erat yang lalu renggang, lepas, kembali lekat, kemudian terlepas lagi? Ataukah perlakuan lembut penuh kasih yang berubah hambar, dingin, kembali hangat, lalu mendingin lagi? Atau mungkin teduh perhatian yang lalu leleh, hanyut, hilang, kemudian kembali teduh lagi?
Sebagai manusia, kita seolah tak bisa menghindarkan diri dari kerentanan menjadi pseudomasokis. Membiarkan diri dan hati terus-menerus digerus padahal tak selamanya harus. Kita bahkan tahu, hati yang terlalu sering ditempa tak selamanya akan tumbuh menjadi hati yang kuat. Hati kita bukan baja yang berulang-ulang digepuk kelak akan terbentuk.
Apa karena setitik kata mungkin yang selalu muncul di setiap kali kata sudahlah yang hadir? Atau karena pikiran merasa bisa dan tak apa-apa yang seolah jadi pahlawan kesiangan di saat hati sudah berteriak-teriak minta diakhiri? Atau terbengkalainya intusi sebab rasa seolah selalu lebih merajai?
Di satu titik, mungkin kita tak akan mampu menemukan jawaban; kenapa kita bertahan. Terhadapnya yang selama ini hanya bisa menggantung rasa. Kepadanya yang selama ini hanya bisa menuai tanpa banyak memupuk. Untuknya yang selama ini hanya menggenggam tanpa mau menyimpan.
Sampai kita ada di titik itu, mungkin kita butuh waktu untuk menilik lagi. Sepertinya itu hanya rasa ingin mengalami. Mengalami rasanya cinta pada sesuatu yang sebetulnya bukan cinta.